Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-rh/2004/07/06 |
|
Selasa, 6 Juli 2004 Bacaan : Matius 6:19-24 Setahun : Ayub 32-33; Kisah 14 Nas : Harta benda tidaklah abadi (Amsal 27:24)
|
|
Pada abad ke-16 ada sebuah kisah tentang percakapan penuh selidik antara seorang pemuda yang ambisius dengan seorang kristiani yang saleh bernama St. Philip Neri. Sang pemuda berkata kepadanya dengan semangat, "Orangtua saya akhirnya menyetujui rencana saya untuk masuk sekolah hukum!" Philip hanya menanggapinya dengan sebuah pertanyaan, "Lalu bagaimana?" Ia menjawab, "Lalu saya akan menjadi seorang ahli hukum!" "Lalu?" kejar Philip. "Lalu saya akan mendapatkan banyak uang, membeli sebuah rumah pedesaan, membeli kereta dan kuda-kuda, menikahi seorang wanita cantik, dan menjalani hidup yang menyenangkan!" jawabnya. Lagi-lagi Philip bertanya, "Lalu?" "Lalu ...." Untuk pertama kalinya pemuda itu mulai merenungkan tentang kematian dan kekekalan. Ia menyadari bahwa ternyata ia tidak melibatkan Allah dalam rencana-rencananya, dan membangun hidupnya di atas nilai-nilai yang fana. Inti kisah ini bukan hendak mengatakan bahwa kekayaan itu salah. Tetapi jika kekayaan menjadi tujuan utama, maka kita mengabaikan kekekalan dan mengandalkan uang, bukan Allah. Yesus mengatakan bahwa kita tidak mungkin mengabdi kepada uang dan kepada Allah (Matius 6:24). Dan Dia memperingatkan, "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi .... Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga" (ayat 19,20). Baik anak muda maupun orang tua memang harus membuat berbagai perencanaan hidup yang penting. Namun, marilah kita senantiasa mengingat kekekalan dengan selalu mengarahkan diri kita pada pertanyaan, "Lalu bagaimana?" -- Joanie Yoder UKURAN SEJATI KEKAYAAN KITA
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |